Selasa, 31 Oktober 2017

Selamat Ulang Tahun Aku, Kamu, dan Pernikahan Kita

Terima kasih Tuhan atas segala rahmat_Mu.

---

Selamat ulang tahun. Ucapan ini untuk aku, kamu, dan pernikahan kita.

Sebenarnya, tulisan ucapan ini sudah sangat terlambat. Tapi secara lisan, kamu pasti ingat kapan aku mengucapkannnya.

Ya, kita lahir di bulan yang sama, September. Meski tanggalnya berbeda. Aku tanggal 7, kamu 21 hari setelahnya.

Ulang tahunku? Seperti biasa. Kurayakan dengan membeli "serbu-serbu" untuk kantor. Tidak juga wah. Hanya beberapa bungkus canai. Ya, belakangan ini, aku menyebarkan virus-virus canai di kantor..Haha..

Aku sengaja, biar ada yang satu selera denganku. Kamu tahu? Makan sendiri itu tidak menyenangkan.

Sayangnya, kamu bukan orang pertama yang memberiku ucapan selamat. Kamu lupa. Sifat yang masih belum bisa meninggalkanmu. Olehnya, hadiah yang kuminta tak muluk-muluk. Kamu hilangkan sifat pelupamu, itu sudah cukup.

Ulang tahunmu? Setidaknya aku ingat ulang tahunmu. Aku memberikan ucapan selamat di pagi hari, ketika kamu baru bangun. "Selamat ulang tahun, sayang" ucapku.

Kurasa itu cukup. Hadiahmu? Kamu tak meminta hadiah, syukurlah. Haha..

Bulan depannya, tepat 9 Oktober, kita merayakan ulang tahun pernikahan (jika mengucapkan selamat adalah bagian dari perayaan).
Pernikahan Kita, 9 Oktober 2016. Photo by Diwan

Namun, kita berdua bukanlah orang yang suka merayakan sesuatu dengan meriah. Paling  kerennya, kita merayakannya dengan makan bersama.

Ini ulang tahun pertama pernikahan kita. Sudah satu tahun saja ya.

Padahal aku belum sempat menulis tentang pertemuan kita hingga akhirnya kita menikah. Tentang itu, akan kutulis suatu saat. Insya Allah.

And then, terima kasih suami, yang sering kupanggil sayang. Kadang juga mas bro. Tak apalah ya. Mas bro itu keren loh. #syemogaa

Terima kasih. Sudah menerimaku apa adanya. Selalu sabar dengan segala tingkah dan marahku.

Aku harap kamu selalu bersabar. Karena beginilah aku.
Kamu sulit menghilangkan sifat pelupamu? begitulah susahnya aku mengubah sifatku.

Orang-orang bilang, dua sejoli yang ditakdirkan bersama itu memiliki karakter yang berseberangan. Perbedaanlah yang menyatukan mereka.

Laiknya magnet. Jika kutub berbeda bertemu akan saling tarik menarik, demikian sebaliknya.

Dan sepertinya itu benar. Contohnya kita. Aku dan kamu memiliki sifat yang bertolak belakang. 180 derajatlah pokoknya.

Kamu sangat sabar. Aku? tentu saja kebalikannya. Bukan aku ya yang bilang kamu sabar. Tapi orang-orang di sekitar. Bahkan hanya melihat fotomu saja, mereka sudah tahu kamu ini sabar. Warbiasah. Eh, tapi jangan kege-eran ding.. haha..

Nah aku? Ketahuilah. Aku ini orang paling "koro-koroang" dan moody sedunia. Moodku bisa berubah dalam hitungan detik. Emejing. Tapi ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan.

Tapi kembali lagi, Tuhan mempertemukan aku dengan kamu karena saling melengkapi dan menyeimbangkan. Bisa bayangkan jika aku bertemu dengan yang sama sifat, bisa "perang dunia" tiap hari.

Mungkin bisa dikatakan seperti ini, ketika Tuhan ingin menciptakan manusia yang sabar, lahirlah kamu. Dan untuk menyeimbangkannya, Tuhan menciptakanku. Yin dan Yang begitu.

Sekali lagi, selamat. Semoga Tuhan senantiasa melimpakan rezeki, kesehatan, serta umur panjang kepada kita berdua. Semoga kita langgeng. (kin31/10/2017)






Senin, 14 Agustus 2017

Menjelajah Danau Kembar di Lembah Bawakaraeng

Kabupaten Gowa memiliki keindahan alam yang menawan. Sebut saja Danau Tanralili ataupun Lembah Ramma. Dua tempat ini mungkin sudah dikenal masyarakat luas, khususnya pencinta alam. Tapi bukan tempat ini yang kami kunjungi. Adalah sebuah danau menawan namun belum begitu terekspos yang jadi tujuan kami.

Danau kembar, begitu beberapa anak pencinta alam menyebutnya. Namun jika melihat di google maps, danau ini belum memiliki nama. Lokasinya berada di antara Danau Tanralili (selatan) dan Lembah Ramma (utara). Sementara nun jauh di sisi timur ada Gunung Bawakaraeng.

Secara administrasi, danau ini berada di Desa Bonto Lerung, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulsel. Namun kami memulai trekking justru dari Desa Panaikkang, Kecamatan Pattalassang. Jalur via Desa Panaikkang jadi pilihan karena jarak tempuhnya lebih cepat dibanding jalur lain. 

Suasana begitu cerah ketika kami memulai perjalanan dari Makassar, Sabtu (29/7/2017), sekitar pukul 10.00 Wita, menuju Desa Panaikkang. Ini keberuntungan sendiri bagi kami yang memang menggunakan kendaraan roda dua. Bisa dibayangkan repotnya jika hujan tetiba menyapa.

Rombongan berjumlah sembilan orang.Saya dan tiga teman lainnya, serta lima orang Mapala STIEM Bongayya.

Jangan tanya mengapa saya tidak ada di foto ini.. :D
Mapala STIEM Bongayya
Oh ya, sebelum berangkat kami terlebih dahulu memastikan bekal dan kondisi motor. Yap, selain tubuh, kondisi motor juga hal wajib. Pasalnya, perjalanan ke Desa Panaikkang butuh waktu sekitar dua jam dan jalan yang dilalui cukup curam.

Adapun rute yang kami lalui yakni dari Makassar ke Jalan Poros Malino. Tiba di Pasar Parigi,belok kanan (jangan terus ya, karena itu arah ke kota. hehe..). Setelah ke kanan, terus-terus ikuti jalan (akan ada dapat jembatan tanpa pagar pengaman yang dilalui) hingga tiba di pasar Majannang. Belok kiri lalu terus hingga menjumpai jembatan merah. Terus lagi sampai dapat pertigaan, ambil jalur kanan untuk ke Desa Panaikkang.


Separuh perjalanan. Singgah foto-foto dulu.. :D
Udara sejuk menyusup ke pori-pori ketika kami tiba di Desa Panaikkang. Meskipun waktu menunjukkan pukul 12.14 Wita. Setelah istirahat sejenak, kami memulai perjalanan. Baru beberapa meter melangkah, kami langsung disuguhkan tanjakan.Usai tanjakan, ada jalan bercabang, kami mengambil jalur kanan.

Jalan menanjak di awal perjalanan cukup menguras tenaga. Langsung terpikir bagaimana medan selanjutnya. Tapi ternyata kekhawatiran kami tidak terbukti. Jika Anda pernah ke Danau Tanralili dan Lembah Ramma, medan ke Danau Kembar cenderung lebih ringan. Cocok bagi pendaki pemula.

Namun bukan berarti tidak ada tanjakan. Ada beberapa jalan menanjak, namun selebihnya jalan mendatar dan turunan di tengah rimbunnya hutan. Bonusnya,ada banyak aliran air yang dilalui sehingga tak perlu takut kehausan. Setelah berjalan sekitar satu jam, kami kembali menjumpai jalan bercabang. Kami memilih ke kanan. Jika jalan terus maka akan tembus ke Tallung, Lembah Ramma.

Well, sekitar lima jam perjalanan, kami tiba juga di danau. Apakah memang selama itu waktu tempuhnya.? Kok lama banget ya.? Eits, jangan pesimis dulu. Waktu perjalanan kami cukup lama karena memang kami begitu menikmati alam.

Ada banyak pesona alam yang sayang untuk dilewatkan. Juga aliran air yang begitu segar seakan memanggil kami untuk singgah dan menikmati secangkir kopi hangat. Iya, perjalanan kami bukan semata tiba di Danau Kembar. Lebih dari itu, kami ingin menikmati setiap jengkal tanah yang terpijak.

Waktu tempuh normal dari Desa Panaikkang ke Danau Kembar sekitar tiga jam. Bagi warga desa lebih cepat lagi yakni hanya 1,5-2 jam saja.
 
Kami tiba di satu dari dua danau. Danau satunya ada di seberang, di sisi timur. Butuh beberapa menit lagi jika mau ke sana. Sejuk, tenang, dan damai, adalah tiga hal yang cukup untuk menggambarkan begitu kami tiba di danau.


Betapa tidak, hanya ada suara gemercik air, siulan burung, dan jernihnya air danau yang menyambut kami. Juga gunung-gunung melingkari seakan memeluk dan melindungi kami dari teriknya sinar matahari. Kami langsung memasang tenda guna beristirahat melepas lelah. Usai makan malam, kami pun terlelap di dinginnya malam.


Botol minum yang setia menemaniku.. :D



It's me..
Keeseokan harinya, kami berangkat menuju Desa Panaikkang sekitar pukul 11.00 Wita. Setelah sebelumya sarapan, mengemasi tenda, dan tentu saja membersihkan sampah.




Menu Sarapan
Perjalanan ke Desa Panaikkang lebih singkat yakni sekitar tiga jam. Dari Desa Panaikkang kami pulang ke Makassar via Malino kota. Kami mengambil jalur berbeda dari sebelumnya karena ingin menikmati suasana kota. (*)

##Artikel ini juga terbit di Harian Tribun Timur edisi Rabu, 3 Agustus 2017

 **Foto by Kina (kecuali foto diriku..haha)

Selasa, 21 Februari 2017

Dia Pergi Kala Dinanti

Tahun berlalu begitu cepat. Baru sadar, ternyata sudah lama sekali aku tak menulis di blog ini. Ada banyak hal yang ingin kukisahkan, tapi terhenti diangan.

Well, akhirnya hari ini aku mulai menulis lagi. Aku sudah menikah. Tepatnya pada 9 Oktober 2016. Tentang pernikahanku, akan kuceritakan suatu waktu.

Kali ini aku akan berbagi tentang seseorang yang aku dan suamiku nantikan. Ya, anak kami, tepatnya calon anak kami. Dia pergi, kala kami menanti.
Jam menunjukkan pukul 22.30 Wita, Jumat 17 Februari 2017, ketika rasa sakit mulai mencengkram perutku. Aku hanya bisa berbaring di tempat tidurku. Level sakitnya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Aku tak tahan lagi. Aku bangkit, sambil memegang perutku, untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. (Dokter ini, seorang dokter pria paruh baya, baru kutemui sekali ini. Sebelumnya aku konsultasi dengan dokter perempuan yang juga paruh baya. Tentang kedua dokter ini, akan kuceritakan nanti).

Satu pil obat anti nyeri kuteguk bersama segelas air putih. Lalu kembali kurebahkan badanku di tempat tidur. Tidak, aku tidak sakit. Aku sehat.

Rasa sakit ini adalah efek dari obat yang diberikan dokter padaku, sekira pukul 20.00 Wita. Obat yang memupuskan harapanku untuk segera menjadi seorang ibu.

Ya, itu obat penggugur janin. Obat itu dimasukkan ke alat vitalku, beberapa menit usai dokter mendiagnosa bahwa janin dalam kandunganku tak bisa lagi diselamatkan. Kata dokter, janin dalam kandunganku tak berkembang dan detak jantungnya tak terdeteksi.

"Janinnya meninggal," singkatnya.

Dia, calon anak pertamaku, meninggal di usianya yang masih sangat muda. Sekitar tiga bulan, kata dokter. Sedih, tak usah ditanya. Tak tega, tapi mau bagaimana lagi. Harus dikeluarkan karena jika tidak akan berbahaya bagi diriku.

Efek obat itu sudah mulai terasa sekitar 21.30 Wita. Namun baru sangat terasa pada jam yang kusebutkan tadi.

Dokter memang sudah memperingatkan bahwa perutku akan perih dan akan keluar banyak darah. Tapi tak kusangka perihnya sesakit ini. Sakitnya tak kunjung reda meski obat anti nyerinya sudah kuminum.  Bahkan sakitnya lebih sakit dari sebelumnya.

Aku berbaring mengerang kesakitan. Sendirian. Tak ada orang di rumah.
Suamiku, seperti biasa, saat ini sedang berada di kantornya. Berjuang menuntaskan editan berita untuk terbit esok hari.

Jam pulangnya tak tentu. Kadang cepat, pukul 12 malam sudah tiba. Namun lebih sering lambat, pukul 1 dini hari. Bahkan kadang pukul dua dini hari baru tiba di rumah.

Dan sepertinya malam ini dia telat. Jam sudah menunjukkan pukul 24.00 Wita, tapi belum ada tanda-tanda keberadaan suamiku.

Ya Allah, sakitnya teramat sakit. Jika dulu kukatakan sakit gigi adalah yang paling sakit, hari ini kuralat. Nyeri dan perih di perutku, di pinggulku, di selangkanganku, berkali lebih sakit dari sakit gigi. Rasa sakit itu diiringi muntah dan BAB. Bergantian.

Terbangun untuk ke kamar mandi semakin membuat bagian bawahku sakit. Tapi aku tak bisa menahan rasa ingin muntah itu. Pun untuk BAB.

Aku kesakitan. Aku mengerang, teriak. Mungkin tetangga sebelah mendengar teriakanku.  Tapi apakah itu penting. Sakitku tak peduli hal itu. This pain hurts.

Aku tak kuat lagi. Kuambil telpon genggam untuk menelpon suamiku. Tak ada jawaban, hanya bunyi tutt..tutt..tutt..lalu mati. Kucoba lagi, masih sama. Lagi, masih belum ada jawaban. Mungkin dia sudah di jalan, pikirku.

Kuletakkan kembali telpon genggam itu karena sakit kembali menyerang. Kupegangi perut dan kutekuk kakiku. Berharap rasa sakitnya berkurang. Tapi sia-sia. Sama sekali tak berpengaruh. Malah semakin sakit.

Aku kembali mengerang dan berteriak. "sayang..sayang..mama..mama," dua kata ini berulang kuteriakkan.

Aku kembali mengambil telpon genggam. Saat baru beberapa kali bunyi tutt, terdengar suara deruman motor di depan rumah. Itu suamiku, harapku. Dan syukurlah, itu memang dia. Kudengar dia membuka pintu rumah. Lalu segera menghampiriku yang masih berteriak.

Aku lega. Dia akhirnya tiba juga di rumah. Meski tak mengurangi rasa sakitku, setidaknya kehadiran suami di sampingku, bisa memberiku kekuatan. Suami duduk di sampingku. Dia membelai kepalaku.

Aku meringis kesakitan. Kucengkram lengannya saat tiba-tiba rasa nyeri itu meningkat. Dan kurasakan darah terus mengalir. Diikuti rasa ingin muntah.

Aku lagi-lagi ke kamar mandi dan langsung muntah. Ntah sudah berapa kali aku muntah dan BAB malam ini. Suami hanya bisa mengikutiku dari belakang. Setelahnya mengambilkan air untuk kuminum saat aku kembali berbaring.
Dua jam setelahnya kulalui dengan penuh kesakitan. Aku tak bisa terlelap. Segala cara kucoba, mengubah posisi tidur, menyamping, telentang, hingga duduk, tetap tak bisa. Sakit ini tak mengizinkan.

Rasa sakitnya sedikit mereda ketika aku mensugesti diriku. "Ini tidak sakit. Sakit ini bukan sakit. Anggap kamu sedang berada di tempat menyenangkan, (dan masih banyak lagi)" sugestiku untuk diriku. sedikit berefek.

Tapi seketika buyar kala rasa sakit yang teramat kembali hinggap. Kalau sudah begitu, aku langsung jongkok. Lalu kurasakan darah mengucur di bawahku. Dan setelahnya, lagi-lagi aku ke kamar untuk ganti pembalut. Entah sudah berapa banyak pembalut yang kupakai malam ini.

Aku tak ingat jam berapa hingga akhirnya aku bisa juga terlelap.  Suamiku juga ikut tertidur. Akhirnya sejenak rasa sakit itu tak menjamahku. Namun saat subuh menjelang, aku kembali dibangunkan oleh rasa sakit. Suamiku bergeming. Dia tetap terlelap. Wajahnya menampakkan kelelahan. Tak tega aku membangunkannya.

Lalu aku kembali berjongkok. Kurasakan sesuatu keluar dari alat vitalku. Namun berbeda dari sebelumnya. Aku ke kamar mandi. Dan ternyata benar, bukan cuma darah. Ada gumpalan, semacam kantong (kulit). Mungkin itu yang dokter maksudkan. Jaringan dari dalam kandunganku (yaitu kantong janin). Aku memegangnya, tertegun.

"Kodong, anakku," tetiba saja terlintas dalam hatiku.

Hatiku perih. Sedih. Ingin menangis, tapi air mataku tak mau keluar. Yah, aku terbilang susah mengeluarkan air mata. Tapi bukan berarti aku tidak sedih. Bahkan kadang air mataku memang tak keluar saking sakitnya rasa di hatiku. Mungkin subuh ini seperti itu. Rasa di hati terlampau sakit.

Hingga pagi hari, rasa sakit di perut, pinggul, dan selangkangan masih menyerangku. Namun sudah tak sesakit malam tadi. Ketika suamiku bangun, aku menunjukkan gumpalan-gumpalan itu (ya, jumlahnya ada empat. Tiga kali keluar dalam waktu yang berbeda).

Suamiku hanya meringis. Mungkin dia juga bingung mau bilang apa. "keluarmi.?" hanya itu yang dia ucapkan. "Iya. Tapi mungkin belum semuanya," jawabku.

Jelang siang, sakitnya perlahan berkurang. Tak sepenuhnya sembuh, tapi sudah mendingan. Kukatakan agar suami menelpon ibunya (mertuaku), memberitahukan keadaanku.

Suami menelpon sambil berbaring di dekatku. Setelah dia menjelaskan semuanya, telpon lalu diberikan kepadaku. Giliranku mengobrol. Ibu mertua menyarankan agar kami mengubur gumpalan-gumpalan itu.

"Bungkus dengan kain bersih," katanya.

Sekira pukul 5 sore lewat, kami menguburkannya. Setelah sebelumnya aku mencuci gumpalan itu dan membungkusnya dengan baju bersih. Bajuku. Suamiku yang menggali tanah lalu menguburkannya. Aku hanya bisa melihat dari jarak beberapa meter.

Aku terduduk dan terdiam beberapa saat. Barulah saat itu aku merasa kehilangan. Seperti ada yang lepas dari diriku. Aku merasa bersalah atas semuanya. Tapi aku ikhlas. Semua adalah kehendak Sang Pencipta.

Maafkan ayah dan ibumu nak. Terutama maafkan ibumu ini.
Maafkan ibumu yang malas makan sehingga nutrisimu tak tercukupi.
Maafkan ibumu yang suka begadang.
Maafkan ibumu yang suka marah-marah sehingga mempengaruhi kondisimu.
Sungguh, aku minta maaf padamu, nak.
Semoga kamu tenang di sana. Amin
*Calon ibu yang kehilangan calon anak pertama

Selasa, 21 April 2015

460 Hari

Ya, 460 hari sudah aku melewati hari sebagai reporter media cetak. Telah banyak naskah kutuliskan.

Anyway, selamat malam. Lama tak bersua. Kerjaan itu cukup menyita waktu ku. Tak apa, tak menulis di sini, aku toh menulis di koran itu.

Mungkin, jika semua naskah berita ku tuliskan disini, sudah ada sekitar 900an tulisan yang ku posting. Wow, banyak juga ya. Anggappah segitu, jika setiap harinya dikalikan dua.

Oke, aku ingin berbagi sedikit tentang kerjaanku sekarang. Pekerjaan yang kucita-citakan sejak SMA. Jadi bisa dibilang, aku sudah meraih cita-citaku. Dan saatnnya, meraih cita-cita yang lain.. #eh

Kembali ke laptop. Well. Kerjaan ini, mungkin karena emang udah jadi hobi, menjadi sesuatu yang menyenangkan buatku.

Setiap hari keliling, kesana kemari cari berita. Ketemu dengan orang berbeda tiap  harinya. Dan  ada pula yang kutemui dua kali dalam seminggu, dan sebenarnya ada yang kujumpai hampir setiap hari, (lah ini mah bukan narasumber, tapi odo-odo... =))

Tapi serius, untuk jiwa petualang dan tidak suka berdiam diri di suatu tempat dalam waktu yang lama, reporter adalah salah satu pilihan.

Berpetualang tidak harus selalu mendaki gunung, menjelajah hutan, atau menyusuri gua. Untuk bisa diterima dengan baik oleh narasumber dan mau memberikan informasi, itu juga petualangan.

Tidak semua orang mudah untuk berbagi cerita. Tak banyak yang dengan mudah menjadi akrab. Tantangan jadi wartawan ya disitu. Bagaimana menembus narasumber dan mendapatkan informasi yang diinginkan.

Senangnya,  tentu saja jika berhasil mewawancara. Berhasil membuat berita yang  bagus, akurat, dan tentunya faktual.

Hmm.. mungkin segitu aja dulu ya.. Drama Turki kesukaan ku sudah mau main ni. Selamat menonton Abad Kejayaan ya.. Kali aja, pembaca sekalian juga suka drama ini.. (*)

Sabtu, 05 Juli 2014

Aku Bersyukur

Lama juga tidak menulis di tempat ini.. Tugas menjadi jurnalis, sedikit banyak menyita waktu untuk lebih fokus menulis sesuatu untuk kepentingan orang banyak, ketimbang mencurahkan perasaan melalui tulisan di tempat ini..

And then., kali ini, akan ku tuliskan tentang diriku, tentang rasa syukurku kepada Tuhan, pencipta segala alam semesta, kepada Tuhan, yang selalu menjadi teman dimana pun aku berada, dan kepada Tuhan, tempat kita kembali pada suatu saat.

Dear Tuhan....

Aku bersyukur.
Engkau ijinkan aku lahir dari keluarga sederhana (ketika miskin menjadi ungkapan tidak bersyukur, aku tak akan memakai kata itu). Meski pada akhirnya, Engkau terlalu cepat memanggil ayahku, saat aku berumur dua tahun lebih, saat kakak sulungku (laki-laki) berumur sekitar empat tahun lebih, kakak keduaku (perempuan) berumur tiga tahun lebih, adikku (laki-laki) belum genap setahun. Tapi Tuhan, ku anggap hal itu karena Kau lebih menyayangi ayahku. Jaga Dia di sisi_Mu, ya Allah.

Aku bersyukur.
Engkau berikan seorang ibu yang begitu tangguh. Tidak pernah ku lihat ibu setangguh beliau.
Di umurnya, yang masih muda, (ibu ku menikah kelas tiga SMA, berarti usianya saat itu sekitar 17 tahun. Sekitar lima tahun menikah, ayah pergi untuk selamanya. Ibu menjadi single parent di usianya, kalo perkiraan ku, 23 tahun. Aku tidak pernah bertanya langsung, berapa usia ibu ku saat ayah pergi)

Sejak kepergian ayah. Hidup kami berubah. Tidak banyak yang ku ingat. Anak usia dua tahun lebih, bisa ingat sebanyak apa. Satu yang ku ingat -entah ini ingatan atau imajinasi atau mimpi, entahlah, hal itu begitu nyata buat ku- saat aku bersama adikku mengikuti ibu dari belakang.

Ibu menangis, aku dan adikku juga. Mungkin aku menangis hanya karena ibu juga menangis. Mungkin. Sekelabat yang ku ingat, saat itu, kami tinggal nomaden, berpindah dari rumah sepupu ibu dan sepupu ayah.

Keluarga kandungku, kakak nenek dari ayah dan nenek dari ibu, pergi menghadap Ilahi terlalu cepat. Di pikirku. Karena saat aku lahir, aku hanya hidup bersama kakek dari ibuku.

Ayah hanya punya satu saudara laki-laki (itupun dia tinggal di negeri Jiran) dan ibu ku anak tunggal. Jadilah keluarga kandungku, hanya kakek, ibu, dan aku bersama tiga saudaraku hidup bersama di sebuah kampung kecil.

Mengapa kami tinggal nomaden, saat kami sebenarnya punya rumah.? Ya, kami punya rumah. Rumah peninggalan nenek dari ibu. Tapi, saat itu kakek ku menikah lagi, jadilah aku punya nenek tiri.

Sejauh yang ku ingat, nomadennya kami karena istri kakek ku mengusir kami dari rumah. Setelah ku pikir sekarang, ternyata hidup kami dulu rumit. Tapi mengerti apa aku dulu tentang semua itu. Yang jelas paling mengerti dan merasakan semuanya, Ibu ku.

Di usianya saat itu, ibu harus berjuang menafkahi empat anaknya, tanpa tahu harus berlindung kepada siapa. Tapi Tuhan selalu punya tujuan di balik segala cobaan. Dan Ibu, dipikirku, sangat paham akan hal itu.

Ibu merupakan wanita yang kuat dan juga tegas. Dari cerita yang ku dengar dari dia, - entah usia ku berapa saat itu, pastinya sudah cukup untuk mengerti - ibu mengajukan syarat kepada kakek.

Ibu bersedia pergi dari rumah asalkan kakek membelikan tanah dan rumah untuk kami. Kakek setuju, dan jadilah kami tinggal agak jauh dari rumah kami sebelumnya - masih dalam kampung, letaknya dekat dari sungai.

Lagi, cerita dari Ibu, tanah tersebut seharga Rp 800 ribu kala itu, sejauh cerita yang ku ingat. Aku lupa, tahun berapa kala itu.

Rumah kami, ya rumah kami bukan rumah yang baru dibangun dari kayu baru yang dikerjakan oleh pembuat rumah. Rumah kami adalah rumah orang lain - rumah panggung - yang kami beli dengan harga, mungkin lebih murah, dibanding membangun yang baru. Saat suatu rumah dibongkar dan dibangun kembali tanpa ada tambahan, bentuknya tidak akan sama, kekurangan tampak di mana-mana.

Saat rumah kami selesai dibangun dan kami pindah ke sana, belum ada pintu menutupinya. Saat itu, ibu menutupinya dengan "karoro" (entah bahasa Indonesianya apa, benda tersebut di kampung kami digunakan untuk menjemur gabah atau cokelat), dan beberapa kayu agar tidak terbang.

Sedikit banyak, aku ingat pintu darurat itu. Aku lupa berapa lama pintu itu bertahan hingga akhirnya, kami punya pintu permanen.

Tahun berlalu, tidak banyak yang ku ingat, hingga aku masuk sekolah dasar.

Aku bersyukur.
Engkau senantiasa memberikan rezeki kepada keluarga kami, dari arah yang tak kami sangka-sangka. Meski kondisi kami sederhana, aku dan saudara-saudara ku tetap bisa sekolah

Ibuku, saat sekolah merupakan siswa cerdas saat sekolah. Begitu pula ayahku. Ibuku, selalu dapat peringkat di kelas, suka dan pintar dalam pelajaran matematika.

Mengapa aku tahu, apakah ibu yang menceritakannya pada kami.?

Bukan.
Cerita itu, tanpa ku minta akan selalu ku dengar saat kenaikan kelas. Bukan untuk menyombongkan diri, aku dan saudara-saudaraku, bisa dibilang cukup pintar di kelas -jika peringkat adalah ukuran kepintaran.

Aku pribadi, saat SD tidak pernah keluar dari tiga besar, kadang aku peringkat pertama, kadang juga dua atau tiga. Dua kakakku lebih pintar dari ku. Sedang adikku, mungkin sama denganku.

Saat kami mendapat peringkat di kelas, baik guru maupun masyarakat sekitar mengatakan hal tersebut wajar. Mereka bilang "pintar memang itu mama dan bapakmu". Aku, hanya tersenyum jika mendengar kata itu hampir di setiap kenaikan kelas.

Bagaimana kami bisa tetap sekolah dan bagaimana ibu membiayai kami.? Bagian ini, membuatku semakin bangga kepada ibu ku yang mampu mengatur keuangan sedemikian rupa.

Kakekku, seorang pensiunan veteran. Setiap bulan menerima gaji dari pemerintah, nominalnya tidak pernah ku ketahui secara pasti, atau mungkin aku lupa.

Gaji tersebut, bukan hanya untuk kakek dan ibu ku, tetapi juga untuk istri kakekku. Jadilah gaji tersebut, dibagi tiga setiap bulannya.

Ibu bertugas mengambil gaji tersebut setiap bulannya di daerah yang cukup jauh dari tempat tinggal kami. Saat itu, transportasi umum yang ada di kampung kami adalah perahu, mengingat di kampung kami ada sungai yang merupakan sungai terpanjang di Sulsel, setahuku sih, yakni Sungai Saddang.

Sungai tersebut menjadi akses terpopuler saat itu karena kondisi jalan di kampungku menuju desa lain belum terlalu bagus. Masih dipenuhi semak belukar dan bebatuan.

Ibu sesekali pergi mengambil gaji dengan trasportasi perahu tersebut. Kadang ibu membawaku turut serta. Meski ada perahu, ibu tidak selalu memilihnya. Kadang ibu dan aku, berjalan kaki melewati beberapa desa - seingatku empat desa, mungkin lebih- untuk mengambil gaji.

Daerah tersebut letaknya di kota. Usai berjalan kaki dan tiba di desa terakhir, kami menyeberang menggunakan perahu untuk ke desa seberang, nantinya di desa itu, kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang mobil angkutan umum.

Mengapa kami harus jalan kaki untuk sampai ke desa tadi, sampai sekarang aku tidak tahu jawabannya. Aku juga tidak pernah bertanya.

Mungkin, ini hanya aku yang menerka-nerka, hal tersebut untuk menghemat biaya, atau paling optimis, hal itu karena mungkin saat itu, perahu sedang full atau sedang tidak beroperasi. Perahu di kampungku, beroperasi di hari-hari pasar, dua kali seminggu, seingatku.
Kalo ku pikir-pikir lagi, mungkin itu sebabnya aku kuat berjalan jauh karena dari kecil sudah terbiasa. Mungkin.

Kakak dan adik laki-laki ku juga sesekali menemani ibu. Kami bergantian menemaninya. Tapi seingatku, aku yang paling sering menemaninya.

Kemana kakak perempuanku, kenapa dia tidak pernah menemani ibu ku.? Bagian ini, akan kuceritakan di lain waktu, insya Allah.

Oia, selain gaji tersebut, kami juga sekolah dari beasiswa. Mulai SD hingga SMA, kami mendapat beasiswa. Tapi aku lupa apa kakak pertamaku dan adikku dapat beasiswa saat SMA atau tidak. Kakak perempuanku, sejauh yang ku ingat, juga selalu mendapat beasiswa.

Beasiswa yang ku dapat, beasiswa kurang mampu. Padahal kalau dipikir-pikir, aku bahkan bisa mendapat beasiswa prestasi. "Ini mungkin terlalu pede". Tapi mungkin pihak sekolah lebih melihatku dari sisi itu.

Saat kuliah, aku juga mendapat beasiswa. Masih beasiswa kurang mampu, bedanya, beasiswa tersebut bukan sekedar tidak mampu, tetapi juga berprestasi yang diberikan sebuah perusahaan perbankan.

Mendapat beasiswa tersebut merupakan kebanggaan tersendiri buatku. Betapa tidak, aku menjadi satu diantara 38 orang terpilih yang menerima beasiswa tersebut. Kami bersaing dengan 8.858 mahasiwa dari seluruh universitas di Indonesia. Beasiswa tersebut membiayai kuliah ku dari semester dua hingga selesai (semester delapan).

Oke, baiknya kita kembali ke cerita sebelum aku kuliah. Banyak cerita yang ku lewatkan.

Kakak pertamaku, selesai SMK (dia memilih sekolah kejuruan jurusan teknik elekto) tahun 2005, kakak perempuanku, selesai tahun 2006, dan aku kelar SMA tahun 2007.

Kakak pertamaku, tidak melanjutkan kuliah. Dia memilih bekerja. Dia, di mataku, sosok paling dewasa dan bertanggung jawab.

Mungkin karena alasan ekonomi, dia tidak melanjutkan kuliah, tidak mau membebani ibuku. Saat dia selesai sekolah, aku masih duduk di kelas dua dan kakak perempuanku kelas tiga SMA.

Kakak perempuanku, kelar SMA, melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri dan mengambil jurusan keperawatan. Dua kakakku, dari jurusan yang mereka pilih, menandakan ketertatikan dan kemampuan mereka di bidang eksakta.

Dari mana biaya kuliah kakakku.?

Oia, aku lupa. Selain gaji kakek dan beasiswa, kami juga hidup dari hasil kebun dan sawah. Kebun kami tidak seberapa luasnya, tapi cukup untuk biaya sehari-hari.

Sedang sawah, dipercayakan kepada orang lain untuk menggarapnya dengan sistem bagi hasil, ibuku tidak bisa begitu bisa bertani sawah, sedang kakakku masih terlalu muda.

Usai sekolahpun, kakakku tidak bertani, dia memilih mencari kerja di kota, sambil mencari kerja yang lebih baik. Saat itu, kakakku kerja di tempat orang sebagai karyawan toko yang belakangan ku tahu, gajinya tidak seberapa kala itu.

Selain sumber penghasilan yang ku sebutkan, biaya hidup kami juga berasal dari hasil kerja ibu. Ibu kerja paruh waktu menjadi buruh panen padi, saat musim panen tiba.

Aku saat SMP juga sesekali ikut dengannya. Meski pertama kali kerja, aku muntah-muntah dan lemas karena sinar matahari yang begitu terik. Bisa bayangkan panasnya, saat kami bekerja dari pagi dan istirahat pada pukul 12 siang, sejam kemudian kami harus kembali bekerja.

Namun, itu tidak membuatmu kapok. Aku akhirnya bekerja paruh waktu di setiap musim panen. Ibu bukannya tidak melarang, dia berkali-kali mencegahku.

Namun, menjadi buruh panen, di kampungku, juga banyak dilakukan anak lainnya. Gajinya memang tak seberapa dibanding orang dewasa, tapi aku juga ingin mempunyai uang dari hasil keringat sendiri. Akhirnya ibu mengijinkan.

Kakak dan adikku juga sama sepertiku. Sesekali ikut jadi buruh panen padi. Alasannya sama denganku, ingin punya uang dari hasil kerja sendiri.

Aku tidak selalu satu kelompok dengan ibu ku. Saat musim panen tiba, ada beberapa kelompok pekerja yang terbagi atas mesin penggiling padi. Setiap mesin dioperasikan oleh beberapa orang, dan orang lainnya bertugas memanen.

Awal menjadi buruh panen, ibu bekerja di bagian mesin karena gajinya lebih besar. Tapi belakangan, kala itu, penyakit mata ibuku beresiko kambuh sehingga ibu beralih menjadi buruh panen biasa, memotong padi dari batangnya.

Sebelum lupa, aku hanya ingin memberi sedikit informasi, flashback ke masa-masa sebelumnya. Usai menikah - entah beberapa bulan setelahnya, lagi-lagi aku tidak pernah bertanya, kedua orang tuaku merantau ke negeri Jiran. Seperti kebanyakan suku Bugis lainnya, keduanya juga mencoba peruntungan nasib di negeri orang.

Ingat saudara ayahku yang kuceritakan tadi.? Ya, ayah dan ibuku ku tinggal bersamanya di negara tersebut. Sekitar empat atau lima tahun orang tuaku disana, ini hanya cermatku saja, karena aku dan dua saudaraku lahir disana.

Saat ibu tengah mengandung adikku, mata ibu sakit. Sakit apa, aku tidak begitu paham. Yang aku tahu, ayah dan ibuku, pulang ke kampung untuk mengobati sakitnya.
Mata ibu akhirnya sembuh. Selang berapa lama setelah adikku lahir, ayahku pergi untuk selamanya. Seingatku, ibu pernah bilang, umur adikku saat itu sekitar sembilan bulan.

Rencana awal datang mengobati mata ibu ku di kampung, ternyata menyimpan makna lain dengan kepergian ayah. Akhirnya kami menetap di kampung kelahiran ayah dan ibuku.

Keinginan ibu untuk kembali ke negeri Jiran pun pupus seiring kepergian ayah. Ditambah harus mengurus keempat anaknya yang masih balita. Ibu, single parent terhebat di dunia ini.

Jika Tuhan berkehendak, maka tak seorangpun bisa menghalanginya. Tuhan memberikan kesempatan untuk bisa kembali menginjak negeri Jiran tersebut, tapi bukan ibuku, melainkan aku.

Bagaimana bisa aku kesana dan kenapa aku harus kesana.? Bagaimana hidup kami sekarang, ibu, aku, dan saudara-saudaraku.?

*Guys, jam sudah menunjukkan pukul tiga. Sampai disini dulu ceritaku. Lain waktu insya Allah, aku lanjutkan lagi betapa besar rasa syukurku kepada Tuhan, melalui kisah yang Dia berikan padaku.

Ini hari ke-8 puasa ramadan 1435 H. Sudah waktunya menyiapkan makanan untuk sahur untuk diriku sendiri. Nasib anak kos, tapi aku bersyukur masih diberi kesempatan menikmati bulan puasa ini dengan segala rezeki yang Tuhan berikan.

###Cerita ini bukan untuk membagi dukaku. Hanya ingin berbagi cerita bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan apapun yang terjadi.

Kamis, 16 Januari 2014

Tuntutan Hidup

Kita hidup di dunia ini, selalu dihadapkan dengan berbagai tuntutan. Baik dari keluarga, lingkungan, maupun orang lain. Mulai dari kecil hingga tua sekalipun, kita tidak bisa lepas dari tuntutan-tuntutan tersebut. Saat masih bayi, kita dituntut untuk dapat merangkak, jalan, berbicara, dsb. Merangkak ke usia tujuh tahun, kita dituntut untuk bersekolah. Sekolahpun sebisa mungkin hingga SMA. Kalo perlu ya, hingga S1, S2, dan seterusnya. Apakah tuntutan segera berakhir saat kita sudah lulus menjadi seorang sarjana.? Jawabanya tidak. Justru tuntutan itu semakin besar. Kita dituntut untuk bisa hidup mandiri. Mandiri dalam arti harus segera mendapatkan pekerjaan agar hidup tidak lagi bergantung pada kedua orang tua. Setelah dapat kerja, muncul tuntutan baru. Ya, kita dituntuk agar segera mendapatkan pendamping hidup alis suami/istri. Lepas menikah, ditanya apakah sudah punya anak, kemudian ditanya apakah sudah punya cucu, dan seterusnya, dan seterusnya. Pertanyaan yang menjadi tuntutan dalam hidup. Yah, inilah hidup kawan. Inilah rute kehidupan yang memang harus dijalani bagi manusia yang hidup bersosial.

Berbicara mengenai hal di atas, saya pribadi sudah sampai pada tahap lulus sarjana. Tuntutan yang paling dekat saat ini adalah mendapatkan pekerjaan. Tahukan kawan.? Sungguh, mencari pekerjaan yang sesuai dengan diri kita itu amatlah susah, bagi saya ya. Ini hanya berdasar pada pengalaman saya. 

Setelah resmi menyandang gelar sarjana, saya tidak langsung mencari kerja. Pulang ke kampung dulu karena dipikiran saya, nanti saat sudah mendapatkan pekerjaan akan susah untuk berlibur ke kampung. Pikirku. Ku pikir, akan mudah untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Tapi deh, ternyata susah. Pas kembali ke Makassar, sayapun melamar kerja di sebuah wedding photography. Yah, memang saya diterima. Namun, cuma sebulan saya bisa bertahan karena berbagai alasan. Setelah keluar dari WO tersebut, kembalilah saya menjadi seorang pengangguran. Kemudian saya mencari pekerjaan, lagi.

Kerjaan saya sehari-hari adalah duduk di depan laptop sambil menuliskan kata kunci lowongan kerja Makassar di om google. CC demi CV saya kirimkan ke email perusahaan yang membuka lowongan. Tapi diantara sekian banyak yang saya kirimi, hanya satu atau dua yang membalasnya. Balasan berupa panggilan kerja. Bukankah itu bagus.? Tidak. Sama sekali tidak. Karena itu semua adalah penipuan. Jadi bagi para pencari kerja, jangan asal percaya. Teliti dulu baik-baik isi emailnya. Biasanya para penipu mengatasnamakan perusahaan besar. Perhatikan baik-baik tanda tangan pimpinan perusahaanya, karena yang pernah saya dapat, tanda tangan yang ada hanya berupa scan-an. Bukan tanda tangan asli.

Okey lanjut. Gagal mencari di online, sayapun beralih ke jobfair. Di jobfair, biasanya akan banyak perusahaan yang membuka lowongan kerja. Tapi percayalah, diantara sekian banyak perusahaan yang anda masukkan lamaran, masih untung jika ada panggilannya. Ya, berdasarkan pengalaman, saya telah mengikuti tiga kali jobfair. Banyak peruasahaan besar di ketiga jobfair tersebut, dan sekitar lima belas CV dan surat lamaran saya sebar. Ingin tahu berapa yang ada balasannya.? Cuma dua. Rentang waktunya pun lama

Setelah mendapat balasan, saya pun mengikuti tes psikotes di perusahaan pertama. Hasil tes akan diumumkan dua minggu setelah tes. Sama halnya dengan tes di perusahaan kedua. Dan waktu menuggu itulah yang menyebabkan saya melewatkan banyak momen. Saya tidak jadi ke pulau Cangke, tidak jadi ke Ramma', dan yang paling sedih tidak jadi ke NURANIx adik-adik KOSMIK 2013. Sigh. Untuk mendapatkan sesuatu memang butuh pengorbanan. Lewat dua minggu, tidak ada tanda-tanda sms masuk. Itu artinya saya tidak lulus. Sedih bercampur kecewa, terlebih jika mengingat hal yang saya lewatkan tadi. Tapi ya sudahlah, memang bukan rejeki kali ya.

Gagal mendapatkan pekerjaan tidak membuat saya putus asa. Justru saya semakin bersemangat. Dan akhirnya, semua usaha tidak sia-sia. Saya kini mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang memang saya cita-citakan selama ini. Wartawan. Alhamdulillah.


Kamis, 12 September 2013

Late Post, "My Birthday"...

Sudah enam hari berlalu sejak aku merayakan ulang tahun ku yang ke-24, tepatnya 7 september 2013.
Tak terasa usiaku sudah hampir seperempat abad. Tidak banyak yang berubah dariku, menurutku. Semua tampak sama. Satu-satunya yang secara pasti berubah hanyalah usia.

Apa yang berubah hanyalah bahwa sekarang aku bukan lagi seorang mahasiswa. Setelah empat tahun lamanya merayakan ulang tahun sebagai mahasiswa, kini tidak lagi. Kupikir hanya dua hal itu yang berubah. Selebihnya, sama.

Aku masih sama dengan diriku beberapa tahun lalu. Emosi yang belum stabil, cita-cita yang belum terarah dengan jelas, serta jati diri yang masih sangat samar. Terlalu banyak pertanyaan yang selalu berseliweran dalam otakku, aku hidup untuk apa, bagaimana sebenarnya aku harus hidup, apakah selama ini hidupku sudah benar, apakah sudah ada yang kulakukan untuk orang-orang sekitar.?
Ah, bahkan untuk diri sendiri pun aku ragu telah melakukan sesuatu untuknya.

Hidupku selama ini begitu datar, menurutku. Ataukah memang hidup hanya seperti ini.?
Lahir, sekolah, kuliah, kerja, menikah, tua, dan mati. Yah, mungkin memang begitulah takdir hidup semua orang.

Namun, terlepas dari semua pertanyaan itu, aku secara pasti, mengucapkan syukur yang sebesar-besar_Nya kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat hidup untukku hingga saat ini. Tuhan yang tidak pernah meninggalkanku. Tuhan, satu-satunya makhluk mutlak yang kepadanya kepercayaan mutlak pula.
Terima kasih, Tuhan.