Selasa, 21 Februari 2017

Dia Pergi Kala Dinanti

Tahun berlalu begitu cepat. Baru sadar, ternyata sudah lama sekali aku tak menulis di blog ini. Ada banyak hal yang ingin kukisahkan, tapi terhenti diangan.

Well, akhirnya hari ini aku mulai menulis lagi. Aku sudah menikah. Tepatnya pada 9 Oktober 2016. Tentang pernikahanku, akan kuceritakan suatu waktu.

Kali ini aku akan berbagi tentang seseorang yang aku dan suamiku nantikan. Ya, anak kami, tepatnya calon anak kami. Dia pergi, kala kami menanti.
Jam menunjukkan pukul 22.30 Wita, Jumat 17 Februari 2017, ketika rasa sakit mulai mencengkram perutku. Aku hanya bisa berbaring di tempat tidurku. Level sakitnya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Aku tak tahan lagi. Aku bangkit, sambil memegang perutku, untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. (Dokter ini, seorang dokter pria paruh baya, baru kutemui sekali ini. Sebelumnya aku konsultasi dengan dokter perempuan yang juga paruh baya. Tentang kedua dokter ini, akan kuceritakan nanti).

Satu pil obat anti nyeri kuteguk bersama segelas air putih. Lalu kembali kurebahkan badanku di tempat tidur. Tidak, aku tidak sakit. Aku sehat.

Rasa sakit ini adalah efek dari obat yang diberikan dokter padaku, sekira pukul 20.00 Wita. Obat yang memupuskan harapanku untuk segera menjadi seorang ibu.

Ya, itu obat penggugur janin. Obat itu dimasukkan ke alat vitalku, beberapa menit usai dokter mendiagnosa bahwa janin dalam kandunganku tak bisa lagi diselamatkan. Kata dokter, janin dalam kandunganku tak berkembang dan detak jantungnya tak terdeteksi.

"Janinnya meninggal," singkatnya.

Dia, calon anak pertamaku, meninggal di usianya yang masih sangat muda. Sekitar tiga bulan, kata dokter. Sedih, tak usah ditanya. Tak tega, tapi mau bagaimana lagi. Harus dikeluarkan karena jika tidak akan berbahaya bagi diriku.

Efek obat itu sudah mulai terasa sekitar 21.30 Wita. Namun baru sangat terasa pada jam yang kusebutkan tadi.

Dokter memang sudah memperingatkan bahwa perutku akan perih dan akan keluar banyak darah. Tapi tak kusangka perihnya sesakit ini. Sakitnya tak kunjung reda meski obat anti nyerinya sudah kuminum.  Bahkan sakitnya lebih sakit dari sebelumnya.

Aku berbaring mengerang kesakitan. Sendirian. Tak ada orang di rumah.
Suamiku, seperti biasa, saat ini sedang berada di kantornya. Berjuang menuntaskan editan berita untuk terbit esok hari.

Jam pulangnya tak tentu. Kadang cepat, pukul 12 malam sudah tiba. Namun lebih sering lambat, pukul 1 dini hari. Bahkan kadang pukul dua dini hari baru tiba di rumah.

Dan sepertinya malam ini dia telat. Jam sudah menunjukkan pukul 24.00 Wita, tapi belum ada tanda-tanda keberadaan suamiku.

Ya Allah, sakitnya teramat sakit. Jika dulu kukatakan sakit gigi adalah yang paling sakit, hari ini kuralat. Nyeri dan perih di perutku, di pinggulku, di selangkanganku, berkali lebih sakit dari sakit gigi. Rasa sakit itu diiringi muntah dan BAB. Bergantian.

Terbangun untuk ke kamar mandi semakin membuat bagian bawahku sakit. Tapi aku tak bisa menahan rasa ingin muntah itu. Pun untuk BAB.

Aku kesakitan. Aku mengerang, teriak. Mungkin tetangga sebelah mendengar teriakanku.  Tapi apakah itu penting. Sakitku tak peduli hal itu. This pain hurts.

Aku tak kuat lagi. Kuambil telpon genggam untuk menelpon suamiku. Tak ada jawaban, hanya bunyi tutt..tutt..tutt..lalu mati. Kucoba lagi, masih sama. Lagi, masih belum ada jawaban. Mungkin dia sudah di jalan, pikirku.

Kuletakkan kembali telpon genggam itu karena sakit kembali menyerang. Kupegangi perut dan kutekuk kakiku. Berharap rasa sakitnya berkurang. Tapi sia-sia. Sama sekali tak berpengaruh. Malah semakin sakit.

Aku kembali mengerang dan berteriak. "sayang..sayang..mama..mama," dua kata ini berulang kuteriakkan.

Aku kembali mengambil telpon genggam. Saat baru beberapa kali bunyi tutt, terdengar suara deruman motor di depan rumah. Itu suamiku, harapku. Dan syukurlah, itu memang dia. Kudengar dia membuka pintu rumah. Lalu segera menghampiriku yang masih berteriak.

Aku lega. Dia akhirnya tiba juga di rumah. Meski tak mengurangi rasa sakitku, setidaknya kehadiran suami di sampingku, bisa memberiku kekuatan. Suami duduk di sampingku. Dia membelai kepalaku.

Aku meringis kesakitan. Kucengkram lengannya saat tiba-tiba rasa nyeri itu meningkat. Dan kurasakan darah terus mengalir. Diikuti rasa ingin muntah.

Aku lagi-lagi ke kamar mandi dan langsung muntah. Ntah sudah berapa kali aku muntah dan BAB malam ini. Suami hanya bisa mengikutiku dari belakang. Setelahnya mengambilkan air untuk kuminum saat aku kembali berbaring.
Dua jam setelahnya kulalui dengan penuh kesakitan. Aku tak bisa terlelap. Segala cara kucoba, mengubah posisi tidur, menyamping, telentang, hingga duduk, tetap tak bisa. Sakit ini tak mengizinkan.

Rasa sakitnya sedikit mereda ketika aku mensugesti diriku. "Ini tidak sakit. Sakit ini bukan sakit. Anggap kamu sedang berada di tempat menyenangkan, (dan masih banyak lagi)" sugestiku untuk diriku. sedikit berefek.

Tapi seketika buyar kala rasa sakit yang teramat kembali hinggap. Kalau sudah begitu, aku langsung jongkok. Lalu kurasakan darah mengucur di bawahku. Dan setelahnya, lagi-lagi aku ke kamar untuk ganti pembalut. Entah sudah berapa banyak pembalut yang kupakai malam ini.

Aku tak ingat jam berapa hingga akhirnya aku bisa juga terlelap.  Suamiku juga ikut tertidur. Akhirnya sejenak rasa sakit itu tak menjamahku. Namun saat subuh menjelang, aku kembali dibangunkan oleh rasa sakit. Suamiku bergeming. Dia tetap terlelap. Wajahnya menampakkan kelelahan. Tak tega aku membangunkannya.

Lalu aku kembali berjongkok. Kurasakan sesuatu keluar dari alat vitalku. Namun berbeda dari sebelumnya. Aku ke kamar mandi. Dan ternyata benar, bukan cuma darah. Ada gumpalan, semacam kantong (kulit). Mungkin itu yang dokter maksudkan. Jaringan dari dalam kandunganku (yaitu kantong janin). Aku memegangnya, tertegun.

"Kodong, anakku," tetiba saja terlintas dalam hatiku.

Hatiku perih. Sedih. Ingin menangis, tapi air mataku tak mau keluar. Yah, aku terbilang susah mengeluarkan air mata. Tapi bukan berarti aku tidak sedih. Bahkan kadang air mataku memang tak keluar saking sakitnya rasa di hatiku. Mungkin subuh ini seperti itu. Rasa di hati terlampau sakit.

Hingga pagi hari, rasa sakit di perut, pinggul, dan selangkangan masih menyerangku. Namun sudah tak sesakit malam tadi. Ketika suamiku bangun, aku menunjukkan gumpalan-gumpalan itu (ya, jumlahnya ada empat. Tiga kali keluar dalam waktu yang berbeda).

Suamiku hanya meringis. Mungkin dia juga bingung mau bilang apa. "keluarmi.?" hanya itu yang dia ucapkan. "Iya. Tapi mungkin belum semuanya," jawabku.

Jelang siang, sakitnya perlahan berkurang. Tak sepenuhnya sembuh, tapi sudah mendingan. Kukatakan agar suami menelpon ibunya (mertuaku), memberitahukan keadaanku.

Suami menelpon sambil berbaring di dekatku. Setelah dia menjelaskan semuanya, telpon lalu diberikan kepadaku. Giliranku mengobrol. Ibu mertua menyarankan agar kami mengubur gumpalan-gumpalan itu.

"Bungkus dengan kain bersih," katanya.

Sekira pukul 5 sore lewat, kami menguburkannya. Setelah sebelumnya aku mencuci gumpalan itu dan membungkusnya dengan baju bersih. Bajuku. Suamiku yang menggali tanah lalu menguburkannya. Aku hanya bisa melihat dari jarak beberapa meter.

Aku terduduk dan terdiam beberapa saat. Barulah saat itu aku merasa kehilangan. Seperti ada yang lepas dari diriku. Aku merasa bersalah atas semuanya. Tapi aku ikhlas. Semua adalah kehendak Sang Pencipta.

Maafkan ayah dan ibumu nak. Terutama maafkan ibumu ini.
Maafkan ibumu yang malas makan sehingga nutrisimu tak tercukupi.
Maafkan ibumu yang suka begadang.
Maafkan ibumu yang suka marah-marah sehingga mempengaruhi kondisimu.
Sungguh, aku minta maaf padamu, nak.
Semoga kamu tenang di sana. Amin
*Calon ibu yang kehilangan calon anak pertama