Sabtu, 05 Juli 2014

Aku Bersyukur

Lama juga tidak menulis di tempat ini.. Tugas menjadi jurnalis, sedikit banyak menyita waktu untuk lebih fokus menulis sesuatu untuk kepentingan orang banyak, ketimbang mencurahkan perasaan melalui tulisan di tempat ini..

And then., kali ini, akan ku tuliskan tentang diriku, tentang rasa syukurku kepada Tuhan, pencipta segala alam semesta, kepada Tuhan, yang selalu menjadi teman dimana pun aku berada, dan kepada Tuhan, tempat kita kembali pada suatu saat.

Dear Tuhan....

Aku bersyukur.
Engkau ijinkan aku lahir dari keluarga sederhana (ketika miskin menjadi ungkapan tidak bersyukur, aku tak akan memakai kata itu). Meski pada akhirnya, Engkau terlalu cepat memanggil ayahku, saat aku berumur dua tahun lebih, saat kakak sulungku (laki-laki) berumur sekitar empat tahun lebih, kakak keduaku (perempuan) berumur tiga tahun lebih, adikku (laki-laki) belum genap setahun. Tapi Tuhan, ku anggap hal itu karena Kau lebih menyayangi ayahku. Jaga Dia di sisi_Mu, ya Allah.

Aku bersyukur.
Engkau berikan seorang ibu yang begitu tangguh. Tidak pernah ku lihat ibu setangguh beliau.
Di umurnya, yang masih muda, (ibu ku menikah kelas tiga SMA, berarti usianya saat itu sekitar 17 tahun. Sekitar lima tahun menikah, ayah pergi untuk selamanya. Ibu menjadi single parent di usianya, kalo perkiraan ku, 23 tahun. Aku tidak pernah bertanya langsung, berapa usia ibu ku saat ayah pergi)

Sejak kepergian ayah. Hidup kami berubah. Tidak banyak yang ku ingat. Anak usia dua tahun lebih, bisa ingat sebanyak apa. Satu yang ku ingat -entah ini ingatan atau imajinasi atau mimpi, entahlah, hal itu begitu nyata buat ku- saat aku bersama adikku mengikuti ibu dari belakang.

Ibu menangis, aku dan adikku juga. Mungkin aku menangis hanya karena ibu juga menangis. Mungkin. Sekelabat yang ku ingat, saat itu, kami tinggal nomaden, berpindah dari rumah sepupu ibu dan sepupu ayah.

Keluarga kandungku, kakak nenek dari ayah dan nenek dari ibu, pergi menghadap Ilahi terlalu cepat. Di pikirku. Karena saat aku lahir, aku hanya hidup bersama kakek dari ibuku.

Ayah hanya punya satu saudara laki-laki (itupun dia tinggal di negeri Jiran) dan ibu ku anak tunggal. Jadilah keluarga kandungku, hanya kakek, ibu, dan aku bersama tiga saudaraku hidup bersama di sebuah kampung kecil.

Mengapa kami tinggal nomaden, saat kami sebenarnya punya rumah.? Ya, kami punya rumah. Rumah peninggalan nenek dari ibu. Tapi, saat itu kakek ku menikah lagi, jadilah aku punya nenek tiri.

Sejauh yang ku ingat, nomadennya kami karena istri kakek ku mengusir kami dari rumah. Setelah ku pikir sekarang, ternyata hidup kami dulu rumit. Tapi mengerti apa aku dulu tentang semua itu. Yang jelas paling mengerti dan merasakan semuanya, Ibu ku.

Di usianya saat itu, ibu harus berjuang menafkahi empat anaknya, tanpa tahu harus berlindung kepada siapa. Tapi Tuhan selalu punya tujuan di balik segala cobaan. Dan Ibu, dipikirku, sangat paham akan hal itu.

Ibu merupakan wanita yang kuat dan juga tegas. Dari cerita yang ku dengar dari dia, - entah usia ku berapa saat itu, pastinya sudah cukup untuk mengerti - ibu mengajukan syarat kepada kakek.

Ibu bersedia pergi dari rumah asalkan kakek membelikan tanah dan rumah untuk kami. Kakek setuju, dan jadilah kami tinggal agak jauh dari rumah kami sebelumnya - masih dalam kampung, letaknya dekat dari sungai.

Lagi, cerita dari Ibu, tanah tersebut seharga Rp 800 ribu kala itu, sejauh cerita yang ku ingat. Aku lupa, tahun berapa kala itu.

Rumah kami, ya rumah kami bukan rumah yang baru dibangun dari kayu baru yang dikerjakan oleh pembuat rumah. Rumah kami adalah rumah orang lain - rumah panggung - yang kami beli dengan harga, mungkin lebih murah, dibanding membangun yang baru. Saat suatu rumah dibongkar dan dibangun kembali tanpa ada tambahan, bentuknya tidak akan sama, kekurangan tampak di mana-mana.

Saat rumah kami selesai dibangun dan kami pindah ke sana, belum ada pintu menutupinya. Saat itu, ibu menutupinya dengan "karoro" (entah bahasa Indonesianya apa, benda tersebut di kampung kami digunakan untuk menjemur gabah atau cokelat), dan beberapa kayu agar tidak terbang.

Sedikit banyak, aku ingat pintu darurat itu. Aku lupa berapa lama pintu itu bertahan hingga akhirnya, kami punya pintu permanen.

Tahun berlalu, tidak banyak yang ku ingat, hingga aku masuk sekolah dasar.

Aku bersyukur.
Engkau senantiasa memberikan rezeki kepada keluarga kami, dari arah yang tak kami sangka-sangka. Meski kondisi kami sederhana, aku dan saudara-saudara ku tetap bisa sekolah

Ibuku, saat sekolah merupakan siswa cerdas saat sekolah. Begitu pula ayahku. Ibuku, selalu dapat peringkat di kelas, suka dan pintar dalam pelajaran matematika.

Mengapa aku tahu, apakah ibu yang menceritakannya pada kami.?

Bukan.
Cerita itu, tanpa ku minta akan selalu ku dengar saat kenaikan kelas. Bukan untuk menyombongkan diri, aku dan saudara-saudaraku, bisa dibilang cukup pintar di kelas -jika peringkat adalah ukuran kepintaran.

Aku pribadi, saat SD tidak pernah keluar dari tiga besar, kadang aku peringkat pertama, kadang juga dua atau tiga. Dua kakakku lebih pintar dari ku. Sedang adikku, mungkin sama denganku.

Saat kami mendapat peringkat di kelas, baik guru maupun masyarakat sekitar mengatakan hal tersebut wajar. Mereka bilang "pintar memang itu mama dan bapakmu". Aku, hanya tersenyum jika mendengar kata itu hampir di setiap kenaikan kelas.

Bagaimana kami bisa tetap sekolah dan bagaimana ibu membiayai kami.? Bagian ini, membuatku semakin bangga kepada ibu ku yang mampu mengatur keuangan sedemikian rupa.

Kakekku, seorang pensiunan veteran. Setiap bulan menerima gaji dari pemerintah, nominalnya tidak pernah ku ketahui secara pasti, atau mungkin aku lupa.

Gaji tersebut, bukan hanya untuk kakek dan ibu ku, tetapi juga untuk istri kakekku. Jadilah gaji tersebut, dibagi tiga setiap bulannya.

Ibu bertugas mengambil gaji tersebut setiap bulannya di daerah yang cukup jauh dari tempat tinggal kami. Saat itu, transportasi umum yang ada di kampung kami adalah perahu, mengingat di kampung kami ada sungai yang merupakan sungai terpanjang di Sulsel, setahuku sih, yakni Sungai Saddang.

Sungai tersebut menjadi akses terpopuler saat itu karena kondisi jalan di kampungku menuju desa lain belum terlalu bagus. Masih dipenuhi semak belukar dan bebatuan.

Ibu sesekali pergi mengambil gaji dengan trasportasi perahu tersebut. Kadang ibu membawaku turut serta. Meski ada perahu, ibu tidak selalu memilihnya. Kadang ibu dan aku, berjalan kaki melewati beberapa desa - seingatku empat desa, mungkin lebih- untuk mengambil gaji.

Daerah tersebut letaknya di kota. Usai berjalan kaki dan tiba di desa terakhir, kami menyeberang menggunakan perahu untuk ke desa seberang, nantinya di desa itu, kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang mobil angkutan umum.

Mengapa kami harus jalan kaki untuk sampai ke desa tadi, sampai sekarang aku tidak tahu jawabannya. Aku juga tidak pernah bertanya.

Mungkin, ini hanya aku yang menerka-nerka, hal tersebut untuk menghemat biaya, atau paling optimis, hal itu karena mungkin saat itu, perahu sedang full atau sedang tidak beroperasi. Perahu di kampungku, beroperasi di hari-hari pasar, dua kali seminggu, seingatku.
Kalo ku pikir-pikir lagi, mungkin itu sebabnya aku kuat berjalan jauh karena dari kecil sudah terbiasa. Mungkin.

Kakak dan adik laki-laki ku juga sesekali menemani ibu. Kami bergantian menemaninya. Tapi seingatku, aku yang paling sering menemaninya.

Kemana kakak perempuanku, kenapa dia tidak pernah menemani ibu ku.? Bagian ini, akan kuceritakan di lain waktu, insya Allah.

Oia, selain gaji tersebut, kami juga sekolah dari beasiswa. Mulai SD hingga SMA, kami mendapat beasiswa. Tapi aku lupa apa kakak pertamaku dan adikku dapat beasiswa saat SMA atau tidak. Kakak perempuanku, sejauh yang ku ingat, juga selalu mendapat beasiswa.

Beasiswa yang ku dapat, beasiswa kurang mampu. Padahal kalau dipikir-pikir, aku bahkan bisa mendapat beasiswa prestasi. "Ini mungkin terlalu pede". Tapi mungkin pihak sekolah lebih melihatku dari sisi itu.

Saat kuliah, aku juga mendapat beasiswa. Masih beasiswa kurang mampu, bedanya, beasiswa tersebut bukan sekedar tidak mampu, tetapi juga berprestasi yang diberikan sebuah perusahaan perbankan.

Mendapat beasiswa tersebut merupakan kebanggaan tersendiri buatku. Betapa tidak, aku menjadi satu diantara 38 orang terpilih yang menerima beasiswa tersebut. Kami bersaing dengan 8.858 mahasiwa dari seluruh universitas di Indonesia. Beasiswa tersebut membiayai kuliah ku dari semester dua hingga selesai (semester delapan).

Oke, baiknya kita kembali ke cerita sebelum aku kuliah. Banyak cerita yang ku lewatkan.

Kakak pertamaku, selesai SMK (dia memilih sekolah kejuruan jurusan teknik elekto) tahun 2005, kakak perempuanku, selesai tahun 2006, dan aku kelar SMA tahun 2007.

Kakak pertamaku, tidak melanjutkan kuliah. Dia memilih bekerja. Dia, di mataku, sosok paling dewasa dan bertanggung jawab.

Mungkin karena alasan ekonomi, dia tidak melanjutkan kuliah, tidak mau membebani ibuku. Saat dia selesai sekolah, aku masih duduk di kelas dua dan kakak perempuanku kelas tiga SMA.

Kakak perempuanku, kelar SMA, melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri dan mengambil jurusan keperawatan. Dua kakakku, dari jurusan yang mereka pilih, menandakan ketertatikan dan kemampuan mereka di bidang eksakta.

Dari mana biaya kuliah kakakku.?

Oia, aku lupa. Selain gaji kakek dan beasiswa, kami juga hidup dari hasil kebun dan sawah. Kebun kami tidak seberapa luasnya, tapi cukup untuk biaya sehari-hari.

Sedang sawah, dipercayakan kepada orang lain untuk menggarapnya dengan sistem bagi hasil, ibuku tidak bisa begitu bisa bertani sawah, sedang kakakku masih terlalu muda.

Usai sekolahpun, kakakku tidak bertani, dia memilih mencari kerja di kota, sambil mencari kerja yang lebih baik. Saat itu, kakakku kerja di tempat orang sebagai karyawan toko yang belakangan ku tahu, gajinya tidak seberapa kala itu.

Selain sumber penghasilan yang ku sebutkan, biaya hidup kami juga berasal dari hasil kerja ibu. Ibu kerja paruh waktu menjadi buruh panen padi, saat musim panen tiba.

Aku saat SMP juga sesekali ikut dengannya. Meski pertama kali kerja, aku muntah-muntah dan lemas karena sinar matahari yang begitu terik. Bisa bayangkan panasnya, saat kami bekerja dari pagi dan istirahat pada pukul 12 siang, sejam kemudian kami harus kembali bekerja.

Namun, itu tidak membuatmu kapok. Aku akhirnya bekerja paruh waktu di setiap musim panen. Ibu bukannya tidak melarang, dia berkali-kali mencegahku.

Namun, menjadi buruh panen, di kampungku, juga banyak dilakukan anak lainnya. Gajinya memang tak seberapa dibanding orang dewasa, tapi aku juga ingin mempunyai uang dari hasil keringat sendiri. Akhirnya ibu mengijinkan.

Kakak dan adikku juga sama sepertiku. Sesekali ikut jadi buruh panen padi. Alasannya sama denganku, ingin punya uang dari hasil kerja sendiri.

Aku tidak selalu satu kelompok dengan ibu ku. Saat musim panen tiba, ada beberapa kelompok pekerja yang terbagi atas mesin penggiling padi. Setiap mesin dioperasikan oleh beberapa orang, dan orang lainnya bertugas memanen.

Awal menjadi buruh panen, ibu bekerja di bagian mesin karena gajinya lebih besar. Tapi belakangan, kala itu, penyakit mata ibuku beresiko kambuh sehingga ibu beralih menjadi buruh panen biasa, memotong padi dari batangnya.

Sebelum lupa, aku hanya ingin memberi sedikit informasi, flashback ke masa-masa sebelumnya. Usai menikah - entah beberapa bulan setelahnya, lagi-lagi aku tidak pernah bertanya, kedua orang tuaku merantau ke negeri Jiran. Seperti kebanyakan suku Bugis lainnya, keduanya juga mencoba peruntungan nasib di negeri orang.

Ingat saudara ayahku yang kuceritakan tadi.? Ya, ayah dan ibuku ku tinggal bersamanya di negara tersebut. Sekitar empat atau lima tahun orang tuaku disana, ini hanya cermatku saja, karena aku dan dua saudaraku lahir disana.

Saat ibu tengah mengandung adikku, mata ibu sakit. Sakit apa, aku tidak begitu paham. Yang aku tahu, ayah dan ibuku, pulang ke kampung untuk mengobati sakitnya.
Mata ibu akhirnya sembuh. Selang berapa lama setelah adikku lahir, ayahku pergi untuk selamanya. Seingatku, ibu pernah bilang, umur adikku saat itu sekitar sembilan bulan.

Rencana awal datang mengobati mata ibu ku di kampung, ternyata menyimpan makna lain dengan kepergian ayah. Akhirnya kami menetap di kampung kelahiran ayah dan ibuku.

Keinginan ibu untuk kembali ke negeri Jiran pun pupus seiring kepergian ayah. Ditambah harus mengurus keempat anaknya yang masih balita. Ibu, single parent terhebat di dunia ini.

Jika Tuhan berkehendak, maka tak seorangpun bisa menghalanginya. Tuhan memberikan kesempatan untuk bisa kembali menginjak negeri Jiran tersebut, tapi bukan ibuku, melainkan aku.

Bagaimana bisa aku kesana dan kenapa aku harus kesana.? Bagaimana hidup kami sekarang, ibu, aku, dan saudara-saudaraku.?

*Guys, jam sudah menunjukkan pukul tiga. Sampai disini dulu ceritaku. Lain waktu insya Allah, aku lanjutkan lagi betapa besar rasa syukurku kepada Tuhan, melalui kisah yang Dia berikan padaku.

Ini hari ke-8 puasa ramadan 1435 H. Sudah waktunya menyiapkan makanan untuk sahur untuk diriku sendiri. Nasib anak kos, tapi aku bersyukur masih diberi kesempatan menikmati bulan puasa ini dengan segala rezeki yang Tuhan berikan.

###Cerita ini bukan untuk membagi dukaku. Hanya ingin berbagi cerita bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan apapun yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar