Selasa, 31 Oktober 2017

Selamat Ulang Tahun Aku, Kamu, dan Pernikahan Kita

Terima kasih Tuhan atas segala rahmat_Mu.

---

Selamat ulang tahun. Ucapan ini untuk aku, kamu, dan pernikahan kita.

Sebenarnya, tulisan ucapan ini sudah sangat terlambat. Tapi secara lisan, kamu pasti ingat kapan aku mengucapkannnya.

Ya, kita lahir di bulan yang sama, September. Meski tanggalnya berbeda. Aku tanggal 7, kamu 21 hari setelahnya.

Ulang tahunku? Seperti biasa. Kurayakan dengan membeli "serbu-serbu" untuk kantor. Tidak juga wah. Hanya beberapa bungkus canai. Ya, belakangan ini, aku menyebarkan virus-virus canai di kantor..Haha..

Aku sengaja, biar ada yang satu selera denganku. Kamu tahu? Makan sendiri itu tidak menyenangkan.

Sayangnya, kamu bukan orang pertama yang memberiku ucapan selamat. Kamu lupa. Sifat yang masih belum bisa meninggalkanmu. Olehnya, hadiah yang kuminta tak muluk-muluk. Kamu hilangkan sifat pelupamu, itu sudah cukup.

Ulang tahunmu? Setidaknya aku ingat ulang tahunmu. Aku memberikan ucapan selamat di pagi hari, ketika kamu baru bangun. "Selamat ulang tahun, sayang" ucapku.

Kurasa itu cukup. Hadiahmu? Kamu tak meminta hadiah, syukurlah. Haha..

Bulan depannya, tepat 9 Oktober, kita merayakan ulang tahun pernikahan (jika mengucapkan selamat adalah bagian dari perayaan).
Pernikahan Kita, 9 Oktober 2016. Photo by Diwan

Namun, kita berdua bukanlah orang yang suka merayakan sesuatu dengan meriah. Paling  kerennya, kita merayakannya dengan makan bersama.

Ini ulang tahun pertama pernikahan kita. Sudah satu tahun saja ya.

Padahal aku belum sempat menulis tentang pertemuan kita hingga akhirnya kita menikah. Tentang itu, akan kutulis suatu saat. Insya Allah.

And then, terima kasih suami, yang sering kupanggil sayang. Kadang juga mas bro. Tak apalah ya. Mas bro itu keren loh. #syemogaa

Terima kasih. Sudah menerimaku apa adanya. Selalu sabar dengan segala tingkah dan marahku.

Aku harap kamu selalu bersabar. Karena beginilah aku.
Kamu sulit menghilangkan sifat pelupamu? begitulah susahnya aku mengubah sifatku.

Orang-orang bilang, dua sejoli yang ditakdirkan bersama itu memiliki karakter yang berseberangan. Perbedaanlah yang menyatukan mereka.

Laiknya magnet. Jika kutub berbeda bertemu akan saling tarik menarik, demikian sebaliknya.

Dan sepertinya itu benar. Contohnya kita. Aku dan kamu memiliki sifat yang bertolak belakang. 180 derajatlah pokoknya.

Kamu sangat sabar. Aku? tentu saja kebalikannya. Bukan aku ya yang bilang kamu sabar. Tapi orang-orang di sekitar. Bahkan hanya melihat fotomu saja, mereka sudah tahu kamu ini sabar. Warbiasah. Eh, tapi jangan kege-eran ding.. haha..

Nah aku? Ketahuilah. Aku ini orang paling "koro-koroang" dan moody sedunia. Moodku bisa berubah dalam hitungan detik. Emejing. Tapi ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan.

Tapi kembali lagi, Tuhan mempertemukan aku dengan kamu karena saling melengkapi dan menyeimbangkan. Bisa bayangkan jika aku bertemu dengan yang sama sifat, bisa "perang dunia" tiap hari.

Mungkin bisa dikatakan seperti ini, ketika Tuhan ingin menciptakan manusia yang sabar, lahirlah kamu. Dan untuk menyeimbangkannya, Tuhan menciptakanku. Yin dan Yang begitu.

Sekali lagi, selamat. Semoga Tuhan senantiasa melimpakan rezeki, kesehatan, serta umur panjang kepada kita berdua. Semoga kita langgeng. (kin31/10/2017)






Senin, 14 Agustus 2017

Menjelajah Danau Kembar di Lembah Bawakaraeng

Kabupaten Gowa memiliki keindahan alam yang menawan. Sebut saja Danau Tanralili ataupun Lembah Ramma. Dua tempat ini mungkin sudah dikenal masyarakat luas, khususnya pencinta alam. Tapi bukan tempat ini yang kami kunjungi. Adalah sebuah danau menawan namun belum begitu terekspos yang jadi tujuan kami.

Danau kembar, begitu beberapa anak pencinta alam menyebutnya. Namun jika melihat di google maps, danau ini belum memiliki nama. Lokasinya berada di antara Danau Tanralili (selatan) dan Lembah Ramma (utara). Sementara nun jauh di sisi timur ada Gunung Bawakaraeng.

Secara administrasi, danau ini berada di Desa Bonto Lerung, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulsel. Namun kami memulai trekking justru dari Desa Panaikkang, Kecamatan Pattalassang. Jalur via Desa Panaikkang jadi pilihan karena jarak tempuhnya lebih cepat dibanding jalur lain. 

Suasana begitu cerah ketika kami memulai perjalanan dari Makassar, Sabtu (29/7/2017), sekitar pukul 10.00 Wita, menuju Desa Panaikkang. Ini keberuntungan sendiri bagi kami yang memang menggunakan kendaraan roda dua. Bisa dibayangkan repotnya jika hujan tetiba menyapa.

Rombongan berjumlah sembilan orang.Saya dan tiga teman lainnya, serta lima orang Mapala STIEM Bongayya.

Jangan tanya mengapa saya tidak ada di foto ini.. :D
Mapala STIEM Bongayya
Oh ya, sebelum berangkat kami terlebih dahulu memastikan bekal dan kondisi motor. Yap, selain tubuh, kondisi motor juga hal wajib. Pasalnya, perjalanan ke Desa Panaikkang butuh waktu sekitar dua jam dan jalan yang dilalui cukup curam.

Adapun rute yang kami lalui yakni dari Makassar ke Jalan Poros Malino. Tiba di Pasar Parigi,belok kanan (jangan terus ya, karena itu arah ke kota. hehe..). Setelah ke kanan, terus-terus ikuti jalan (akan ada dapat jembatan tanpa pagar pengaman yang dilalui) hingga tiba di pasar Majannang. Belok kiri lalu terus hingga menjumpai jembatan merah. Terus lagi sampai dapat pertigaan, ambil jalur kanan untuk ke Desa Panaikkang.


Separuh perjalanan. Singgah foto-foto dulu.. :D
Udara sejuk menyusup ke pori-pori ketika kami tiba di Desa Panaikkang. Meskipun waktu menunjukkan pukul 12.14 Wita. Setelah istirahat sejenak, kami memulai perjalanan. Baru beberapa meter melangkah, kami langsung disuguhkan tanjakan.Usai tanjakan, ada jalan bercabang, kami mengambil jalur kanan.

Jalan menanjak di awal perjalanan cukup menguras tenaga. Langsung terpikir bagaimana medan selanjutnya. Tapi ternyata kekhawatiran kami tidak terbukti. Jika Anda pernah ke Danau Tanralili dan Lembah Ramma, medan ke Danau Kembar cenderung lebih ringan. Cocok bagi pendaki pemula.

Namun bukan berarti tidak ada tanjakan. Ada beberapa jalan menanjak, namun selebihnya jalan mendatar dan turunan di tengah rimbunnya hutan. Bonusnya,ada banyak aliran air yang dilalui sehingga tak perlu takut kehausan. Setelah berjalan sekitar satu jam, kami kembali menjumpai jalan bercabang. Kami memilih ke kanan. Jika jalan terus maka akan tembus ke Tallung, Lembah Ramma.

Well, sekitar lima jam perjalanan, kami tiba juga di danau. Apakah memang selama itu waktu tempuhnya.? Kok lama banget ya.? Eits, jangan pesimis dulu. Waktu perjalanan kami cukup lama karena memang kami begitu menikmati alam.

Ada banyak pesona alam yang sayang untuk dilewatkan. Juga aliran air yang begitu segar seakan memanggil kami untuk singgah dan menikmati secangkir kopi hangat. Iya, perjalanan kami bukan semata tiba di Danau Kembar. Lebih dari itu, kami ingin menikmati setiap jengkal tanah yang terpijak.

Waktu tempuh normal dari Desa Panaikkang ke Danau Kembar sekitar tiga jam. Bagi warga desa lebih cepat lagi yakni hanya 1,5-2 jam saja.
 
Kami tiba di satu dari dua danau. Danau satunya ada di seberang, di sisi timur. Butuh beberapa menit lagi jika mau ke sana. Sejuk, tenang, dan damai, adalah tiga hal yang cukup untuk menggambarkan begitu kami tiba di danau.


Betapa tidak, hanya ada suara gemercik air, siulan burung, dan jernihnya air danau yang menyambut kami. Juga gunung-gunung melingkari seakan memeluk dan melindungi kami dari teriknya sinar matahari. Kami langsung memasang tenda guna beristirahat melepas lelah. Usai makan malam, kami pun terlelap di dinginnya malam.


Botol minum yang setia menemaniku.. :D



It's me..
Keeseokan harinya, kami berangkat menuju Desa Panaikkang sekitar pukul 11.00 Wita. Setelah sebelumya sarapan, mengemasi tenda, dan tentu saja membersihkan sampah.




Menu Sarapan
Perjalanan ke Desa Panaikkang lebih singkat yakni sekitar tiga jam. Dari Desa Panaikkang kami pulang ke Makassar via Malino kota. Kami mengambil jalur berbeda dari sebelumnya karena ingin menikmati suasana kota. (*)

##Artikel ini juga terbit di Harian Tribun Timur edisi Rabu, 3 Agustus 2017

 **Foto by Kina (kecuali foto diriku..haha)

Selasa, 21 Februari 2017

Dia Pergi Kala Dinanti

Tahun berlalu begitu cepat. Baru sadar, ternyata sudah lama sekali aku tak menulis di blog ini. Ada banyak hal yang ingin kukisahkan, tapi terhenti diangan.

Well, akhirnya hari ini aku mulai menulis lagi. Aku sudah menikah. Tepatnya pada 9 Oktober 2016. Tentang pernikahanku, akan kuceritakan suatu waktu.

Kali ini aku akan berbagi tentang seseorang yang aku dan suamiku nantikan. Ya, anak kami, tepatnya calon anak kami. Dia pergi, kala kami menanti.
Jam menunjukkan pukul 22.30 Wita, Jumat 17 Februari 2017, ketika rasa sakit mulai mencengkram perutku. Aku hanya bisa berbaring di tempat tidurku. Level sakitnya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Aku tak tahan lagi. Aku bangkit, sambil memegang perutku, untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. (Dokter ini, seorang dokter pria paruh baya, baru kutemui sekali ini. Sebelumnya aku konsultasi dengan dokter perempuan yang juga paruh baya. Tentang kedua dokter ini, akan kuceritakan nanti).

Satu pil obat anti nyeri kuteguk bersama segelas air putih. Lalu kembali kurebahkan badanku di tempat tidur. Tidak, aku tidak sakit. Aku sehat.

Rasa sakit ini adalah efek dari obat yang diberikan dokter padaku, sekira pukul 20.00 Wita. Obat yang memupuskan harapanku untuk segera menjadi seorang ibu.

Ya, itu obat penggugur janin. Obat itu dimasukkan ke alat vitalku, beberapa menit usai dokter mendiagnosa bahwa janin dalam kandunganku tak bisa lagi diselamatkan. Kata dokter, janin dalam kandunganku tak berkembang dan detak jantungnya tak terdeteksi.

"Janinnya meninggal," singkatnya.

Dia, calon anak pertamaku, meninggal di usianya yang masih sangat muda. Sekitar tiga bulan, kata dokter. Sedih, tak usah ditanya. Tak tega, tapi mau bagaimana lagi. Harus dikeluarkan karena jika tidak akan berbahaya bagi diriku.

Efek obat itu sudah mulai terasa sekitar 21.30 Wita. Namun baru sangat terasa pada jam yang kusebutkan tadi.

Dokter memang sudah memperingatkan bahwa perutku akan perih dan akan keluar banyak darah. Tapi tak kusangka perihnya sesakit ini. Sakitnya tak kunjung reda meski obat anti nyerinya sudah kuminum.  Bahkan sakitnya lebih sakit dari sebelumnya.

Aku berbaring mengerang kesakitan. Sendirian. Tak ada orang di rumah.
Suamiku, seperti biasa, saat ini sedang berada di kantornya. Berjuang menuntaskan editan berita untuk terbit esok hari.

Jam pulangnya tak tentu. Kadang cepat, pukul 12 malam sudah tiba. Namun lebih sering lambat, pukul 1 dini hari. Bahkan kadang pukul dua dini hari baru tiba di rumah.

Dan sepertinya malam ini dia telat. Jam sudah menunjukkan pukul 24.00 Wita, tapi belum ada tanda-tanda keberadaan suamiku.

Ya Allah, sakitnya teramat sakit. Jika dulu kukatakan sakit gigi adalah yang paling sakit, hari ini kuralat. Nyeri dan perih di perutku, di pinggulku, di selangkanganku, berkali lebih sakit dari sakit gigi. Rasa sakit itu diiringi muntah dan BAB. Bergantian.

Terbangun untuk ke kamar mandi semakin membuat bagian bawahku sakit. Tapi aku tak bisa menahan rasa ingin muntah itu. Pun untuk BAB.

Aku kesakitan. Aku mengerang, teriak. Mungkin tetangga sebelah mendengar teriakanku.  Tapi apakah itu penting. Sakitku tak peduli hal itu. This pain hurts.

Aku tak kuat lagi. Kuambil telpon genggam untuk menelpon suamiku. Tak ada jawaban, hanya bunyi tutt..tutt..tutt..lalu mati. Kucoba lagi, masih sama. Lagi, masih belum ada jawaban. Mungkin dia sudah di jalan, pikirku.

Kuletakkan kembali telpon genggam itu karena sakit kembali menyerang. Kupegangi perut dan kutekuk kakiku. Berharap rasa sakitnya berkurang. Tapi sia-sia. Sama sekali tak berpengaruh. Malah semakin sakit.

Aku kembali mengerang dan berteriak. "sayang..sayang..mama..mama," dua kata ini berulang kuteriakkan.

Aku kembali mengambil telpon genggam. Saat baru beberapa kali bunyi tutt, terdengar suara deruman motor di depan rumah. Itu suamiku, harapku. Dan syukurlah, itu memang dia. Kudengar dia membuka pintu rumah. Lalu segera menghampiriku yang masih berteriak.

Aku lega. Dia akhirnya tiba juga di rumah. Meski tak mengurangi rasa sakitku, setidaknya kehadiran suami di sampingku, bisa memberiku kekuatan. Suami duduk di sampingku. Dia membelai kepalaku.

Aku meringis kesakitan. Kucengkram lengannya saat tiba-tiba rasa nyeri itu meningkat. Dan kurasakan darah terus mengalir. Diikuti rasa ingin muntah.

Aku lagi-lagi ke kamar mandi dan langsung muntah. Ntah sudah berapa kali aku muntah dan BAB malam ini. Suami hanya bisa mengikutiku dari belakang. Setelahnya mengambilkan air untuk kuminum saat aku kembali berbaring.
Dua jam setelahnya kulalui dengan penuh kesakitan. Aku tak bisa terlelap. Segala cara kucoba, mengubah posisi tidur, menyamping, telentang, hingga duduk, tetap tak bisa. Sakit ini tak mengizinkan.

Rasa sakitnya sedikit mereda ketika aku mensugesti diriku. "Ini tidak sakit. Sakit ini bukan sakit. Anggap kamu sedang berada di tempat menyenangkan, (dan masih banyak lagi)" sugestiku untuk diriku. sedikit berefek.

Tapi seketika buyar kala rasa sakit yang teramat kembali hinggap. Kalau sudah begitu, aku langsung jongkok. Lalu kurasakan darah mengucur di bawahku. Dan setelahnya, lagi-lagi aku ke kamar untuk ganti pembalut. Entah sudah berapa banyak pembalut yang kupakai malam ini.

Aku tak ingat jam berapa hingga akhirnya aku bisa juga terlelap.  Suamiku juga ikut tertidur. Akhirnya sejenak rasa sakit itu tak menjamahku. Namun saat subuh menjelang, aku kembali dibangunkan oleh rasa sakit. Suamiku bergeming. Dia tetap terlelap. Wajahnya menampakkan kelelahan. Tak tega aku membangunkannya.

Lalu aku kembali berjongkok. Kurasakan sesuatu keluar dari alat vitalku. Namun berbeda dari sebelumnya. Aku ke kamar mandi. Dan ternyata benar, bukan cuma darah. Ada gumpalan, semacam kantong (kulit). Mungkin itu yang dokter maksudkan. Jaringan dari dalam kandunganku (yaitu kantong janin). Aku memegangnya, tertegun.

"Kodong, anakku," tetiba saja terlintas dalam hatiku.

Hatiku perih. Sedih. Ingin menangis, tapi air mataku tak mau keluar. Yah, aku terbilang susah mengeluarkan air mata. Tapi bukan berarti aku tidak sedih. Bahkan kadang air mataku memang tak keluar saking sakitnya rasa di hatiku. Mungkin subuh ini seperti itu. Rasa di hati terlampau sakit.

Hingga pagi hari, rasa sakit di perut, pinggul, dan selangkangan masih menyerangku. Namun sudah tak sesakit malam tadi. Ketika suamiku bangun, aku menunjukkan gumpalan-gumpalan itu (ya, jumlahnya ada empat. Tiga kali keluar dalam waktu yang berbeda).

Suamiku hanya meringis. Mungkin dia juga bingung mau bilang apa. "keluarmi.?" hanya itu yang dia ucapkan. "Iya. Tapi mungkin belum semuanya," jawabku.

Jelang siang, sakitnya perlahan berkurang. Tak sepenuhnya sembuh, tapi sudah mendingan. Kukatakan agar suami menelpon ibunya (mertuaku), memberitahukan keadaanku.

Suami menelpon sambil berbaring di dekatku. Setelah dia menjelaskan semuanya, telpon lalu diberikan kepadaku. Giliranku mengobrol. Ibu mertua menyarankan agar kami mengubur gumpalan-gumpalan itu.

"Bungkus dengan kain bersih," katanya.

Sekira pukul 5 sore lewat, kami menguburkannya. Setelah sebelumnya aku mencuci gumpalan itu dan membungkusnya dengan baju bersih. Bajuku. Suamiku yang menggali tanah lalu menguburkannya. Aku hanya bisa melihat dari jarak beberapa meter.

Aku terduduk dan terdiam beberapa saat. Barulah saat itu aku merasa kehilangan. Seperti ada yang lepas dari diriku. Aku merasa bersalah atas semuanya. Tapi aku ikhlas. Semua adalah kehendak Sang Pencipta.

Maafkan ayah dan ibumu nak. Terutama maafkan ibumu ini.
Maafkan ibumu yang malas makan sehingga nutrisimu tak tercukupi.
Maafkan ibumu yang suka begadang.
Maafkan ibumu yang suka marah-marah sehingga mempengaruhi kondisimu.
Sungguh, aku minta maaf padamu, nak.
Semoga kamu tenang di sana. Amin
*Calon ibu yang kehilangan calon anak pertama