Rabu, 28 Maret 2012

Pengalaman KAB

Beberapa hari yang lalu, dosen mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya memberi tugas untuk menuliskan pengalaman saat berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya. Berikut yang sempat saya tulis...

Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya, saya akan mencoba menceritakan sedikit mengenai pengalaman saya ketika di Malaysia dulu, tepatnya di Lahad Datu, Sabah. Jika kita lihat di peta, Sabah terletak di atas pulau Kalimantan. Bahkan seandainya Sabah menjadi wilayah Indonesia, maka ia akan menjadi Kalimantan Timur. Namun karena Sabah merupakan bekas jajahan Inggris, maka masuklah Sabah menjadi salah satu propinsi milik Malaysia.

Saya ke Sabah karena dipanggil oleh tante untuk membantunya dalam beberapa hal. Untuk sampai di Sabah, prosesnya tidaklah mudah. Apalagi pendatang illegal seperti saya. Sebenarnya, saya tidak sepenuhnya illegal. Saya memiliki surat lahir Malaysia (saya lahir di Malaysia, tepatnta Sabah). Namun, peraturan keimigrasian dan kependudukan di Malaysia sangatlah ketat. Jika sampai umur 12 tahun kita belum memiliki IC (kalau di Indonesia sebutnya KTP), maka surat lahir tidak akan berlaku lagi. Kecuali jika ada yang menjamin, yaitu ayah. Namun, karena ayah saya sudah meninggal dan hingga umur 12 tahun saya belum memiliki IC. Maka jadilah saya penduduk illegal di tanah kelahiran sendiri.

Setelah melalui proses yang panjang dan sedikit sulit, akhirnya sampai juga saya di Sabah. Daerah pertama yang dijumpai adalah Tawau. Jika Nunukan adalah batas wilayah Indonesia, maka Tawau pun demikian. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Tawau, suasananya tidak jauh berbeda dengan di Nunukan. Meskipun sudah termasuk wilayah Sabah, namun tidak sulit untuk menjumpai orang-orang yang berbicara dengan memakai bahasa bugis. Bahkan boleh dikatakan sebagian besar orang-orang yang ada disitu berbicara dengan bahasa bugis. Jadi untuk anda yang ingin ke Tawau, namun tidak mengerti bahasa Malaysia, tidak perlu kuatir. Cukup pintar berbahasa bugis, maka anda akan selamat. Meski bahasa yang digunakan adalah bahasa bugis, namun ada sedikit perbedaan dalam dialeknya. Bugis yang sering saya dengar di tempat saya di Pinrang agak sedikit berbeda.

Kita tinggalkan Tawau karena tujuan saya adalah Lahad Datu. Lahad Datu, boleh dikatakan hampir sama dengan kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan. Kalau saya boleh bilang, hampir sama dengan Pare-Pare. Wilayahnya tidak begitu luas. Meski begitu, penduduk yang tinggal disitu sangat beragam. Seperti orang Tamil (India), orang Suluk (Filiphina), orang China, suku Bugis (Indonesia), dan tentunya orang tempatan. Mengapa saya menulis suku Bugis untuk mewakili Indonesia.? Karena selama saya disana, orang Indonesia yang saya jumpai adalah suku Bugis. Mereka sebagian besar pedagang, ada yang bolak balik Indonesia-Sabah, ada pula yang menetap.

Saya sudah menceritakan sedikit mengenai Sabah. Jadi sekarang saya akan berbicara mengenai orang-orangnya dan perilaku komunikasinya. Saat di Sabah, saya berinteraksi dengan orang-orang yang sekalipun berbeda suku. Awalnya agak sedikit rumit dan agak banyak ditertawai. Perbedaan paling mendasar yang saya rasakan adalah dari segi bahasa. Meskipun bahasa Melaysia tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, tetapi tetap saja ada perbedaan makna meski kata-katanya sama. Sebagai contoh ketika saya mengatakan “dorong”, saya malah ditertawai. Mereka bahkan bilang “apa itu dorong”, “tolaklah.”..Maksudnya kata yang benar untuk mendorong sesuatu adalah tolak (dalam bahasa Malaysia). Padahal sepemahaman saya, dalam bahasa Indonesia kata ‘tolak’ bermakna tidak setuju. Namun, sungguh jauh berbeda makna kata ‘tolak’ di Sabah yang ternyata bermakna mendorong. Bukan hanya itu, masih banyak kata-kata lain yang membuat saya tertawa sendiri. Meski tak jarang saya juga ditertawai jika menggunakan bahasa Indonesia.

Ada satu kata lagi yang maknanya sangat berbeda namun katanya sama, yaitu kredit. Anda tentu tahu kredit. Di Indonesia (sepengetahuan saya), kredit adalah suatu cara pembayaran dimana kita tidak harus membayar full, tapi membayarnya secara berkala atau dicicil. Tapi, tahukah anda apa artinya kata ‘kredit’ di Sabah. ‘Kredit’ di Sabah berarti sesuatu yang dipakai jika ingin menelpon atau sms, yang tanpa keberadaannya handpone tidak aka nada gunanya.  Yah, ternyata ‘kredit’ di Sabah berarti pulsa (jika di Indonesia). Jadi, ingin membeli pulsa di Sabah, jangan sekali-kali mengatakan pulsa karena penjualnya tidak akan mengerti (kecuali penjualnya orang Bugis). Tapi terkadang ada juga orang bugis yang tidak mengerti apa itu pulsa, itu menandakan bahwa orang tersebut sudah sangat lama tinggal di Malaysia.

Selain dari segi bahasa, ada satu hal lagi yang sedikit membuat saya kaget. Ketika itu saya baru saja melaksanakan shalat. Tiba-tiba ada seorang teman yang berkata ‘kau shalat ya.? Rajinnya kau..”. Dia mengatakan hal tersebut dengan nada yang sedikit heran. Dan itu juga membuat saya agak kaget. Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa dia heran ketika saya shalat.? Bukankah shalat adalah kewajiban. Di Indonesia saja, tepatnya di daerah tempat tinggal saya. Jika waktu shalat sudah tiba, pasti orang tua sudah berteriak untuk mengingatkan. Tapi disini kondisinya malah sebaliknya. Orang malah heran melihat anak muda yang rajin shalat. Sungguh aneh menurut saya. Dan setelah beberapa lama saya tinggal di Lahad Datu, saya bisa menyimpulkan bahwa memang anak mudanya jarang yang melakukan shalat. Bahkan boleh dihitung jari. Tapi untunglah orang-orang dewasanya masih melaksanakan shalat.

Masih banyak hal yang saya alami saat berada di Lahad Datu. Selama saya hidup, saya boleh dikata suka pergi shalat tarawih saat bulan ramadhan. Namun, di Lahad Datu keadaannya berubah. bahkan saya hanya sempat melaksanakan shalat tarawih di masjid tidak lebih dari lima kali selama bulan Ramadhan. Semua itu karena masjidnya sangat jauh. Untuk sampai kesana harus dengan naik mobil. Dan pada saat itu om dan tante saya tidak berada di rumah, mereka sedang ada urusan di luar kota. Jadilah saya tidak ke masjid. Kalau kemudian ditanya mengapa masjidnya jauh, yah karena di kawasan perumahan tempat tinggal tidak ada dibangun masjid. Sebab yang memiliki proyek tersebut adalah orang China dan boleh dikata orang Islam di kawasan tersebut merupakan minoritas sehingga sama sekali tidak ada masjid di kawasan perumahan itu. (Yah, menurut cermat saya begitu).

Mungkin sekian dulu cerita saya. Saran saya, bagi anda yang ingin berkunjung ke Sabah, siapkan mental untuk menghadapi hal-hal tidak terduga dan tentu saja paspor agar anda tidak dikatakan pendatang illegal. Sebab sangat besar resiko yang akan dihadapi jika kita tidak memiliki paspor, kita akan terus menjadi incaran polisi setempat.

Namun apakah anda penasaran, mengapa saya baik-baik saja disana selama setahun lebih tanpa pernah ditangkap polisi.? Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Mungkin itu karena Tuhan sangat menyayangi saya. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar