Kita hidup di dunia ini, selalu dihadapkan dengan berbagai tuntutan. Baik dari keluarga, lingkungan, maupun orang lain. Mulai dari kecil hingga tua sekalipun, kita tidak bisa lepas dari tuntutan-tuntutan tersebut. Saat masih bayi, kita dituntut untuk dapat merangkak, jalan, berbicara, dsb. Merangkak ke usia tujuh tahun, kita dituntut untuk bersekolah. Sekolahpun sebisa mungkin hingga SMA. Kalo perlu ya, hingga S1, S2, dan seterusnya. Apakah tuntutan segera berakhir saat kita sudah lulus menjadi seorang sarjana.? Jawabanya tidak. Justru tuntutan itu semakin besar. Kita dituntut untuk bisa hidup mandiri. Mandiri dalam arti harus segera mendapatkan pekerjaan agar hidup tidak lagi bergantung pada kedua orang tua. Setelah dapat kerja, muncul tuntutan baru. Ya, kita dituntuk agar segera mendapatkan pendamping hidup alis suami/istri. Lepas menikah, ditanya apakah sudah punya anak, kemudian ditanya apakah sudah punya cucu, dan seterusnya, dan seterusnya. Pertanyaan yang menjadi tuntutan dalam hidup. Yah, inilah hidup kawan. Inilah rute kehidupan yang memang harus dijalani bagi manusia yang hidup bersosial.
Berbicara mengenai hal di atas, saya pribadi sudah sampai pada tahap lulus sarjana. Tuntutan yang paling dekat saat ini adalah mendapatkan pekerjaan. Tahukan kawan.? Sungguh, mencari pekerjaan yang sesuai dengan diri kita itu amatlah susah, bagi saya ya. Ini hanya berdasar pada pengalaman saya.
Setelah resmi menyandang gelar sarjana, saya tidak langsung mencari kerja. Pulang ke kampung dulu karena dipikiran saya, nanti saat sudah mendapatkan pekerjaan akan susah untuk berlibur ke kampung. Pikirku. Ku pikir, akan mudah untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Tapi deh, ternyata susah. Pas kembali ke Makassar, sayapun melamar kerja di sebuah wedding photography. Yah, memang saya diterima. Namun, cuma sebulan saya bisa bertahan karena berbagai alasan. Setelah keluar dari WO tersebut, kembalilah saya menjadi seorang pengangguran. Kemudian saya mencari pekerjaan, lagi.
Kerjaan saya sehari-hari adalah duduk di depan laptop sambil menuliskan kata kunci lowongan kerja Makassar di om google. CC demi CV saya kirimkan ke email perusahaan yang membuka lowongan. Tapi diantara sekian banyak yang saya kirimi, hanya satu atau dua yang membalasnya. Balasan berupa panggilan kerja. Bukankah itu bagus.? Tidak. Sama sekali tidak. Karena itu semua adalah penipuan. Jadi bagi para pencari kerja, jangan asal percaya. Teliti dulu baik-baik isi emailnya. Biasanya para penipu mengatasnamakan perusahaan besar. Perhatikan baik-baik tanda tangan pimpinan perusahaanya, karena yang pernah saya dapat, tanda tangan yang ada hanya berupa scan-an. Bukan tanda tangan asli.
Okey lanjut. Gagal mencari di online, sayapun beralih ke jobfair. Di jobfair, biasanya akan banyak perusahaan yang membuka lowongan kerja. Tapi percayalah, diantara sekian banyak perusahaan yang anda masukkan lamaran, masih untung jika ada panggilannya. Ya, berdasarkan pengalaman, saya telah mengikuti tiga kali jobfair. Banyak peruasahaan besar di ketiga jobfair tersebut, dan sekitar lima belas CV dan surat lamaran saya sebar. Ingin tahu berapa yang ada balasannya.? Cuma dua. Rentang waktunya pun lama
Setelah mendapat balasan, saya pun mengikuti tes psikotes di perusahaan pertama. Hasil tes akan diumumkan dua minggu setelah tes. Sama halnya dengan tes di perusahaan kedua. Dan waktu menuggu itulah yang menyebabkan saya melewatkan banyak momen. Saya tidak jadi ke pulau Cangke, tidak jadi ke Ramma', dan yang paling sedih tidak jadi ke NURANIx adik-adik KOSMIK 2013. Sigh. Untuk mendapatkan sesuatu memang butuh pengorbanan. Lewat dua minggu, tidak ada tanda-tanda sms masuk. Itu artinya saya tidak lulus. Sedih bercampur kecewa, terlebih jika mengingat hal yang saya lewatkan tadi. Tapi ya sudahlah, memang bukan rejeki kali ya.
Gagal mendapatkan pekerjaan tidak membuat saya putus asa. Justru saya semakin bersemangat. Dan akhirnya, semua usaha tidak sia-sia. Saya kini mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang memang saya cita-citakan selama ini. Wartawan. Alhamdulillah.